Disrupsi dan Politik Selera dalam Film Indonesia

Kehadiran  The Night Comes for Us di Netflix (TNCFU) di jaringan Netflix   mengingatkan saya pada beberapa hal: era disrupsi dan politik selera.  Keduanya saling berkelindan. Saya akan mulai dengan mengulas film ini sebagai studi kasus yang menjadi gerbang untuk membahas bagaimana industri perfilman sedamg berbenah dan beradaptasi dengan konteks era disrupsi dan semangat mencari platform baru dan juga politik selera. Setelah itu saya akan membahas kedua topik itu dengan pendekatan sejarah. Karena, seperti kata sejarahwan Kuntowijoyo, sejarah itu seperti spiral yang selalu berulang namun selalu maju ke depan.

Mengapa  TNCFU penting
Era disrupsi melanda hampir di semua lini kehidupan. Tak terkecuali dunia film di Indonesia.jika beberapa tahun lalu ada wanaca soal seluloid digantikan dengan digital dan DCP, kini platform baru, digital dan daring, bermunculan. Industri DVD meredup, kecuali beberapa kasus seperti  KFC yang   masih  mensirkukasikan film semacam Dilan 1990 dan Si Doel the Movie, atau film-film yang DVD-nya diedarkan di luar negeri. TNCFU, dalam konteks pencarian kanal distribusi dan eksibisi alternatif,  adalah salah satu contoh saja dari upaya beradaptasi mengikuti jiwa zaman.  Film ini awalnya diputar perdana di Fantastic Fest pada 22 September 2018, dan empat hari kemudian muncul pengumuman bahwa Netflix akan menyiarkan film ini, yang terlaksana pada 19 Oktober 2018. Ia menemukan platform daring sebagai kanal penyebarannya. TNCFU dianggap sebagai film Indonesia pertama yang dirilis melalui Netflix.

Secara umum, inilah gejala yang cenderung baru terjadi, secara global. Para produser dan sutradara film pun melongok platform baru sebagai outlet untuk memutar film mereka. Maka daya tarik Netflik, Iflix, Hooq, Flik, Go-Studio dan entah apa  lagi yang akan muncul kemudian, begitu menarik sebagai cara liyan untuk melakukan distribusi dan eksibisi. Wacana seputar platform daring ini  ini sudah mulai dibahas hangat, khususnya sejak kasus Okja di Cannes 2017.

Misalnya,  apakah film yang diproduksi atau diedarkan hanya di Netflix atau  daring bisa dianggap sebagai atau setara dengan “film panjang bioskop” yang dapat dipertimbangkan untuk dinilai di sebuah festival film.  Atau bahkan, apakah film-film yang hanya beredar di Netlix bisa didefinisikan sebagai “sinema”?

Maka, kini dengan relatif mudah kita bisa mendapati film-film Indonesia beredar di outlet maya ini. Ada yang menjual filmnya ke Netflix atau daring laiinnya, seperti  Love for Sale, Galih dan Ratna, Ada Apa dengan Cinta 2, dan Mata Batin. Di Hooq ada Sweet 20, Stip dan Pensil, dan Cek Toko Sebelah.

Gaya lain adalah pembuatan film atau webseries secara ekslusif. Biasanya ada embel-embel “Originals” di belakangnya.  Ada juga yang melabelinya dengan istilah “Cable films”, seperti saat Robert Liefeld sang creator Deadpool memuji TNCFU. Apostle (Gareth Evans, 2018) adalah contohnya. Selain film fitur yang berdurasi panjang, ada yang membuat webseries seperti Halustik (Viu Originals) dan Brata (Hooq Originals).  Di HBO,  ada Joko Anwar dengan A Mother’s Love (bagian dari  omnibus Folklore), yang sebelumnya diputar di Festival Film Toronto. Sebelumnya, masih di HBO, Joko menyutradarai serial televisi Halfworlds. Serial Grisse, yang dibintangi Adinia Wirasti,  juga ditayangkan di HBO.

Tapi sepertinya budaya distribusi dan eksibisi yang tradisional, khususnya ritual menonton di bioskop layar lebar lengkap dengan ruangan gelap dan system audio yang canggih, bukan berarti akan terancam punah.  Para  pengusaha media online, bahkan yang sebelumnya tak bergerak di bidang media,  masih percaya bahwa bisnis hiburan konvensional itu masih menguntungkan, dan karenanya mereka  juga merambah dunia nyata.  Marlina dan Critical Eleven disponsori oleh Hooq Originals.  Go-Studio, bagian dari Go-Jek,  juga ikut serta dalam Ku Lari Ke Pantai, Keluarga Cemara (Kaskus juga berperan di film ini),  Buffalo Boys, dan Ku Cumbu Tubuh Indahku. Iflix Originals mensponsori Sesat. Dan fenomena ini terjadi di seluruh penjuru dunia.

Politik Selera: Film Laga Garis Keras

Sependek pengetahuan saya, dari amatan singkat beberapa tahun belakangan, film-film yang eksklusif  dibuat karena pesanan khusus, ada beberapa kharakteristik yg terkait politik selera. Yaitu semangat merayakan kekerasan dan genre fantasi popular dan cenderung non-sensor (kecuali dengan klasifikasi usia, yang agak susah diterapkan di era daring).

Pakem produksi dan Selera juga berubah. Kebetulan, di tahun 2011, saya terlibat dalam Fisfic (Fantastic Indonesian Short Film Competition), termasuk di dalamnya adalah para sutradara, produser, dan direktur festival film yang semuanya terkait dengan genre film fantasi (horror, thriller, laga, sci-fi, superhero). Mereka adalah Joko Anwar, Timo Tjahjanto, Kimo Stamboel, Gareth Evans, LAla Timothy (Lifelike Pictures), dan Rusli Eddy (INAFF). Para tokoh di dalam Fisfic ini punya banyak kesamaan: mempunyai selera dan standar kualitas yang global dan semangat menembus pasar internasional, dan kecintaan akan genre popular. “Kalau mau saingan sama Ang Lee, jangan sama gue” kata Joko suatu ketika. Maka, film-film bergenre popular yang mereka bikin seperti menaikkan standar baru dalam perfilman Indonesia. Sebut saja Merantau, The Raid, The Raid 2, Pintu Terlarang, Pengabdi Setan,  Rumah Dara, dan TNCFU. Dan, terbukti, film-film mereka bisa lolos seleksi berbagai festival film kelas dunia, dan disukai oleh para penggemar global. Tentu karena bahasa audio visual yang sama atau familiar, dan nilai produksi yang tinggi.  Singkat kata: film-film Joko, Kimo, Timo, dan Gareth sesuai dengan kebutuhan dan keinginan politik selera penggemar,  penonton, dan distributor/eksibitor global.

Dan bisa ditebak kalau mereka adalah termasuk dalam peretas ke dunia baru di wilayah outlet maya ini.

Era Disrupsi pra-Netflix.
Perubahan modus produksi dan perkembangan teknologi juga dialami di era sebelum Netflix. Di awal 1990an, krisis ekonomi melanda. Para produser banyak yg membut film murah bernuansa seksploitasi macam Gairah Malam dan Bergairah di Puncak. Sedikit film bernuansa berbeda dirilis, seperti film-film Garin Nugroho, juga film-film seperti Taksi, Sri, Telegram, Badut-BAdut Kota, dan Cemeng 2005. Namun, yang paling menonjol adalah hijrahnya para pekerja film ke dunia yang baru kala itu yang dianggap lebih menjanjikan industri televisi swasta

Perpindahan berbondong-bondong juga dialama di era kolonil Belanda, kala dunia film sedang marak dan dunia sandirawa menurun. Beberapa tokoh besar dari Dardanella dll menjadi produser dan bintang film. Karena itu, kalau diperhatikan, Bahasa audio visualnya masih berupa adaptasi seni pertunjukan tradisional, dan cerita-ceritanya diambil dari kisah-kisah fantasi dan legenda yang sering mereka pentaskan.

Politik Selera Prokjatap Prosar
Kaum elit budaya Indonesia Orde Baru itu unik. Mereka bukan bagian dari pemerintah, tapi terlibat secara aktif untuk membingkai perfilman Indonesi sesuai dengan politik selera mereka. Namun, dalam konteks global, politik selera mereka bertempur dengan  politik selera pasar global, khususnya kebutuhan dan keinginan para penonton, penggemar, dan distributor internasional, juga sudah terjadi di era 1980an. Para elit budaya era, melalui Dewan Film Nasional,  itu membentuk Prokjatap Prosar (Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Film Indonesia di Luar Negeri) pada 1981. Tujuannya adalah adalah mempromosikan film-film Indonesia, khususnya meloloskannya ke seksi kompetisi,  di berbagai festival film kelas wahid. Maka, mulai Januari  1982, mereka pun keliling mulai dari Manila Film Festival (yang kala itu menjadi salah satu pusat perfilman se-Asia Pasifik dan berambisi menyaingi Cannes).

Di Manila, di jalur kompetisi, mereka berusaha memasukkan film semacam Usia 18,  Perempuan dalam Pasungan, Seputih Hatinya Semerah Bibirnya , dan Bukan Sandiwara. Semuanya tertolak. Justru di pasar filmnya yang laku adalah  Ratu Ilmu Hitam,  Lima Cewek Jagoan Primitif, dan Janur Kuning.

Di Berlinale (Februari 1982), Rosihan Anwar sang wakil ketua membuat konperensi pers. Dimoderatori oleh jurnalis Swiss, Eichenberger,  yang tampil adalah  Christine Hakim, Slamet Djarot,   Edward Pesta Sirait, dan Djohardin dari Departement Penerangan. Namun, lagi-lagi mereka gagal di jalur kompetisi dan berhasil menjual lebih banyak film mistik dan horror di jalur pemasaran. Di Cannes (Mei 1982) juga sama. Film seperti Jaka Sembung, Pengabdi Setan, Gundala Putera Petir, dan Membakar Matahari yang laku dan dipasarkan di sirkuit home video dan televisi di luar negeri, pun dengan MIFED (Mercato Internazionale Del Film Del TV Del Documentario) di  Milan (Oktober 1982), Berlinale (FEbruari 1983) dan Cannes (Mei, 1983).

Artinya, walau di dalam negeri, para elit budaya giat mengkampanyekan “wajah Indonesia yang sebenarnya” dan “film kultural edukatif”,  namun kenyataannya justru di luar negeri yang dikenal adalah film-film yang disebut para penggemar global dengan istilah “Crazy Indonesia”. Representasi tentang Indonesia adalah kisah-kisah legenda, fantasi, horor lokal, “superhero” lokal dengan kekuatan supranatural, dengan balutan kekerasan dan adegan sensual. Dan inilah kekalahan politik selera mereka yang takluk oleh permintaan global, baik dari distributor ataupun penggemar.

Yang menarik, Prokjatap Prosar inilah yang kemudian menjadi batu loncatan bagi Raam Punjabi (Parkit Films) dan Gope Samtani (Rapi Film), keduanya ikut berkelana bersama rombongan, belajar tentang seluk beluk pemasaran film global sembari belajar menyesuaikan selera pasar transnasional itu. Setelah Prokjatap Prosar dibubarkan pada 1983, karena pergantian  menteri penerangan, keduanya secara sporadis mulai memasarkan filmnya di luar negeri, bahkan menjalin hubungan kerjasama produksi dengan perusahaan film asing, termasuk Troma Entertainment. Mereka memakai aktor asing (seperit Cynthia Rothrock), termasuk yang amatir (termasuk Peter O’Brian awalanya adalah guru, Barbara Anne Constable dan Ilona Bastian adalah turis), mengikuti gaya film-B Amerika.

Kelindan antara politik selera berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan perfilman dengan era disrupsi adalah sebuah keniscayaan. “Sejarah itu seperti spiral yang selalu berulang namun selalu maju ke depan”, kata Kuntowijoyo.

Naskah ditulis oleh Dr. Ekky Imanjaya, Dosen Prodi Studi Film Universitas Bina Nusantara. Pernah dimuat di JurnalRuang, 31 Desember 2018