Suzzanna, Film  Reborn,  dan Sinema Cult

Film Suzzanna: Bernafas dalam Lumpur mencatat rekor baru. Dalam empat hari penayangan, film ini telah meraup lebih dari satu juga penonton. Film ini dinilai banyak orang sebagai contoh tambahan kesuksesan formula film reborn yang memadukan antara menjual kenangan dengan kemasan baru untuk milenial.

Istilah “Reborn” pertama kali dipakai dalam film Warkop Rebor: Jangkrik Boss.  Menurut analisa beberapa kritikus dan jurnalis film, istilah “reborn” merujuk pada upaya menghidupkan kembali bintang film legendaris. Jika “remake” adalah mendaurulang cerita, lepas apakah hasilnya setia atau menafsirkan ulang film orisinalnya, maka “reborn” adalah “mendaurulang” actor dan aktrisnya dengan berbagai trivia dan ciri khasnya.

Tulisan ini hendak membahas film Reborn dari sudut pandang lain. Semua elemen itu bermuara pada satu istilah: Sinema Cult. dan kuncinya ada di bintang film sebagai cult icon berikut berbagai trivia dan dialog tak terlupakan yang lekat dengan si tokoh.

Film Reborn sebagai Sinema Cult

Singkat kata, Sinema Cult adalah film-film yang mempunyai pengikut yang militant, yang selalu merayakan filmnya, dengan melakukan “ritual-ritual” tertentu mulai dari fanzine hingga cosplay.  Umumnya, para penggemar menonton filmnya berkali-kali tanpa rasa bosan.  Bahkan, mereka hapal dialog-dialog dan gestur tubuh para karakternya. Seperti diutarakan Umberto Eco saat mengupas Casablanca, salah satu ciri khas film cult adalah kemampuannya untuk

“…menyediakan dunia yang benar-benar lengkap sehingga penggemarnya dapat mengutip karakter-karakternya  dan episode-episodenya  seolah-olah mereka adalah aspek dari dunia sektarian  penggemarnya yang tersendiri, sebuah dunia yang dengannya seseorang dapat membuat kuis dan bermain game trivia sehingga para ahli sekte saling mengenali   satu sama lewat  keahlian bersama. Tentu saja semua elemen (karakter dan episode) ini harus memiliki daya tarik arketip (pola dasar), seperti yang akan kita lihat … ” (Eco, dalam Mathijs dan Mendik  2007, terjemahan saya)

Tak heran, bioskop seperti Prince Charles Cinema di bilangan Leicester Square London mempunyai program quote-a-long, sing-a-long, curse-a-long, weep-a-long untuk menampung kebutuhan para penggemar ini. Salah satu jenis film cult adalah film-film dan bintang film arusutama seperti Star Wars dan the Lords of the Rings. Istilahnya, Mass Cult (menurut Barry Grant, 1991) dan Cult Blockbusters (dalam istilah Mathijs dan Sexton, 2011) .

Dua hal penting lainnya dalam film cult adalah sosok actor dan aktris ikonik (cult icon) dan semangat merayakan nostalgia  (Mathijs and Mendik  2008).

Film Reborn jelas sekali “menjual” nostalgia era 1980an dan 1990an dan berfokus pada mengeksploitasi cult icon Indonesia yang sudah punya jutaan pengikut seperti Warkop DKI, Benyamin Sueb, dan Suzanna. Dan berbagai dialog dan trivia tak terlupakan juga diselipkan dan dijahit. Dengan kata lain, Film Reborn adalah “film Kain Perca”, yang menggabungkan berbagai elemen nostalgik terkait adegan, nyanyian, dialog tertentu.

Mengapa dua film WArkop Reborn dan Suzanna berhasil sedangkan Benyamin Biang Kerok gagal? Menurut saya, karena tidak memaksimalkan mengeksploitasi unsur-unsur cult yang ada dalam materi film khususnya si ikon cult.

 

Setia kepada Pakem

Pertama, tentu memajang nama sang legenda sebagai judul film. Kedua, memaksimalkan ciri khas dan karakteristik sang  cult Icon kepada pemain filmnya. Keempat film berusaha mewujudkan agar secara fisik, gestur tubuh, hingga dialek  sang actor mirip dengan sang legenda.  Keempat film berhasil dalam hal ini. Tapi film reborn bukan hanya soal imitasi sang idola saja, tetapi apakah charisma dan nostalgia para penontonnya juga terakomodir di dalam layar?

Film Warkop Reborn adalah contoh terbaik untuk melihat betapa gestur, dialog, celetukan, dan berbagai trivia lainnya, kemudian bak kain perca dijahit menjadi sebuah cerita panjang.  Misalnya istilah Jangkrik Bos dan berbagai perangkat CHIPS, adegan “Nyanyian Kode” dari Pintar-Pintar Bodo, Chicken Dance, dan juga berbagai elemen dari IQ Jongkok dan Setan Kredit. Tujuan dari film ini adalah merayakan WArkp DKI dengan segala trivia dan nostalgianya, bukan mendaurulang film Warkop tertentu.

Film Suzanna sebenarnya hanya mengangkat satu elemen saja yang sudah sangat kuat dalam ingatan penggemarnya: Sundel Bolong, seperti yang diingat dalam Sundel Bolong dan Malam SAtu Suro. Seperti ciri khas film Reborn, film ini bukan remake dari kedua film di atas, tapi ada hal-hal baru dengan jahitan “kain perca”, seperti lagu Selamat Malam (Vina Panduwinata) yang ada di Malam Satu Suro,  dialog-dialog bergaya 1980an atau adegan  makan sate 200 tusuk yang (sayangnya Cuma) ada di teasernya.  Tapi, film ini tidak berjudul Sundel Bolong ,walau pun ini tribute untuknya, tapi kembali merujuk ke aktris legendaris. Walau judulnya adalah gabungan dari dua judul film (walau pun Bernafas Dalam Lumpur bukan film horror), tapi judulnya adalah nafas dari film ini.  Tapi muaranya tetap pada Suzanna. Ini semua karena penekatan tujuan dari film ini adalah untuk merayakan Suzanna.

Benyamin Biang Kerok, sayangnya tidak memainkan trivia dan dialog-dialog yang melekat  dengan Babe Ben. Ada istilah Babe Sabeni untuk sang ayah Rano Karno atau bertemu Tarzan Kota di akhir film, tapi itu masih kurang. Lagu-lagu yang ditampilkan (Ondel-Ondel, Nonton Bioskop, Hujan Gerimis, dan Biang Kerok) terkesan terlalu modern dan sebagian besar seperti tidak menyatu dengan cerita utama. Ceritanya seputar detektif dan robot (sci-fi), yang secara umum tidak berasosiasi dengan Benyamin. Tidak ada celetukan seperti “Kingkong lo lawan!”.  Mengapa tidak pakai, misalnya saja, nuansa koboi alias western yang cukup lekat dengan Benyamin (Koboi Insyaf, Tiga Djanggo), atau Betawi pinggiran kelas bawah, bukannya kelas atas. Saya menilai, semangat “merayakan” dan bernostalgia bersama sosok besar Benyamin Sueb” kurang maksimal di film ini. Bahkan tidak ada tanda-tanda Benyamin Sueb sebagai tokoh di film ini. Bagaimanapun Pengki adalah salah satu karakter yang dimainkan Benyamin, dan bukan Benyamin itu sendiri.

Sampai kapan jualan Nostalgia?

Makin banyak film dan budaya pop yang menjual nostalgia. Sebagian sukses, sebagian gagal. Dari Bohemian Rhapsody hingga Dilan 1990 berupaya menggaet generasi 1970an-1990an (yang secara ekonomi sudah mapan) seraya memakai pendekatan baru untuk memikat generasi Millenials. Film berjenis Reborn tak terkecuali. Mungkin  semua cult icon 1980an dan 1990an, dari Ateng-Iskak dan mungkin juga akan merambah ke Rhoma Irama dan Barry Prima, akan di-reborn-kan.

Pertanyaanya:  Sampai kapan kita terus berjualan “nostalgia”? Dalam 15 tahun ke depan, apakah kita masih punya nostalgia otentik  selain dari nostalgia akan nostalgia?

 

Ditulis oleh Ekky Imanjaya, Dosen Film Binus. Dimuat di Koran Tempo, 30 November 2018

Meilani