BUMI MANUSIA: MEREKA BILANG DIA MINKE Atawa PANGGIL DIA MINKE SAJA

 

Keengganan kita berguru pada sejarah telah membuat kita terlempar pada keranjang sampah peradaban. (Pramoedya Ananta Toer)

Namanya Minke. Dia tokoh utama novel, dan kemudian film, Bumi Manusia (BM), buku pertama dari Tetralogi Buru, karya terkenal dari sastrawan dan sejarawan Pramoedya Ananta Toer. Buku ini pernah dilarang di masa Orde Baru. Larangan itu belum dicabut sampai saat penulis menuliskan ulasan ini.

Kisah keseharian Minke lah yang membuat film ini bergerak. Termasuk soal asmaranya, dan tentu konflik-konflik sosial-politik-ekonomi-budaya di sekitarnya. Salman Aristo dan seluruh awaknya berusaha semaksimal mungkin menerjemahkan gagasan Pram dan melestarikannya dalam film dengan cukup baik: Minke yang berada di dua dunia –Jawa dan Belanda– yang masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Seperti intelektual pada masa itu, Minke tergagap dengan pesona kemajuan dan modernitas yang ditawarkan Belanda dan Eropa pada umumnya –yang dianggap banyak orang telah meruntuhkan identitas kejawaannya. Pun dengan upaya menyajikan beragam bahasa yang digunakan.

Namanya Minke. Dia tergagap-gagap melihat pesona sekaligus borok sistem kolonial Belanda, juga antara nilai luhur dan sistem kasta budaya Jawa. Film ini, dalam menerjemahkan ide-ide Pram, menunjukkan hal itu. Untunglah Hanung sang sutradara sudah terlatih dengan membuat biopik tokoh penting dalam pendekatan sejarah. Sebut saja Sang Pencerah (2010), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Kartini (2017), dan Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018). Kali ini, ia dan awaknya berupaya mewujudkan Surabaya dan sekitarnya di sekitar tahun 1898 (tahun perayaan penobatan Wilhemina sebagai ratu Belanda),

Tentu ada banyak pendekatan dalam mengulas film. Dalam tulisan ini, saya memilih untuk merayakan Minke dan Pramoedya –sosok yang terpinggirkan dalam Orde Baru– serta tafsiran Hanung dan timnya atas BM. Karena itulah, saya akan fokus pada cerita dan penceritaan di film ini, dan sejauh mana BM mengekalkan ide-ide Pram sekaligus membuatnya tetap aktual dan signifikan bagi pembacanya dan generasi milenial. Karena, bagi saya, film ini terlalu mewah untuk hanya dibahas dari segi estetika, atau printilan akurasi sejarah (seperti soal tata bahasa atau arsitektur bangunan), dan terlalu mewah untuk hanya diperdebatkan soal komersialisasi dan kapitalisasi Pram (seperti juga debat soal kapitalisasi dan komersialisasi Wiji Tukul yang menghadang film Istirahatlah Kata-Kata). Bagi saya, Hanung cs punya beban teramat berat namun terpuji, yaitu bagaimana menangkap esensi dan lantas menerjemahkan idealisme Pram sekaligus mengantarkannya dengan kemasan yang kira-kira cocok untuk selera kaum milenial. Juga, bagaimana gaung pemikiran Pram masih bisa “berbunyi” untuk situasi mutakhir, 40 tahun sejak pertama kali novelnya diterbitkan. Dengan bingkai ini, saya mencoba mengulas film BM.

 

Namanya Minke. Kusebut berkali-kali. Sebab, nama itu, “Minke”, dalam ulasan ini, menjadi pintu penting untuk masuk ke dalam penghayatan film BM.

Mereka Bilang Dia Minke

Namanya Minke. Nama ini sebenarnya bermakna “monyet” alias “munyuk“, sebuah julukan merendahkan yang ditujukan untuk merisak. Inilah periode di mana di berbagai tempat terpancang pengumuman “Priboemi dan Andjing Dilarang Masoek”. Dan lebih mengenaskan lagi, beberapa orang yang merisak Minke adalah kaum Indo, kaum yang mengalir darah pribumi di tubuh mereka –kaum yang nantinya juga menjadi kelas dua baik di Indonesia atau Belanda, khususnya ketika pada 1957, saat kaum Indo berbondong-bondong “kembali” ke Belanda. Dalam sebuah perdebatan, Minke dihajar dengan cercaan rasis: “Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda, lantas jadi Eropa? Tetap monyet!

Kita bisa melihat bagaimana film BM bisa menjadi metafora yang cocok untuk membaca kondisi dewasa ini, khususnya terkait dengan saudara-saudara kita dari Papua. Terhadap saudara-saudara kita itu, pelecehan ras masih saja terjadi dalam berbagai bentuk. Termasuk, penyebutan penuh hinaan, “monyet”, pada mereka. Itulah salah satu penyulut kerusuhan di Papua. Dalam sebuah unjuk rasa di Jayapura, Gubernur Papua Lukas Enembe dengan lugas menyatakan, “kami bukan bangsa monyet, kami manusia.” (Tirto, 20/08/2019). Lebih keras dan kritis lagi, Ligia Judith Giay (Tirto, 20/08/2019): “Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali sejak para ilmuwan pasca-kolonial (khususnya Franz Fannon) menamaninya Tatapan Kolonial (colonial gaze).” Penghinaan dalam bentuk ujaran merendahkan itu adalah satu dari gunung es diskriminasi dan rasialisme di negeri ini. Tak perlu banyak teori atau analisa mendalam, betapa persamaan antara Minke (alias “monyet”) serta “bumi manusia dengan persoalannya” dengan kasus Papua saat ini terasa begitu kuat. Betapa aktual dan signifikan BM dan Pram, hingga saat ini. Dalam konteks ini, Minke adalah Papua dan Papua adalah Minke.

 

 

 

 

 

 

 

 

Panggil Aku Minke Saja

Bocah ABG itu lebih memilih dipanggil “Minke”, walau tahu makna peyoratifnya. Dia lantas terbiasa dengan sebutan itu, dan kemudian memilih  nama itu sebagai sebutannya sehari-hari, tanpa embel-embel apa pun.

“Minke saja?” Begitu Annelies Mellema, sang pujaan hati Minke, saat pertama kali mereka bertemu. Hingga pertengahan film, Minke digambarkan berupaya keras menutupi jatidirinya sebagai bangsawan dan anak bupati Bojonegoro –sebuah status istimewa yang membuatnya bisa sekolah di Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya. Tirto Adhie Soeryo, begitulah nama aslinya disebut beberapa kali di filmnya, walau tak disebutkan secara terang dalam novelnya. Ia adalah sosok remaja 17 tahun yang gelisah dengan sistem rasialistis dan diskriminatif baik di dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda maupun dalam budaya Jawa.

“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dan persoalannya,” ujar Minke. Dia enggan dikait-kaitkan dengan keningratannya. Seolah Minke ingin berkata, “Panggil aku Minke saja.”

Itu tentu mirip dengan ungkapan yang jadi judul buku Pram lainnya, Panggil Aku Kartini Saja. Minke dan Kartini adalah sama-sama anak muda Jawa yang cemerlang dan hidup secara kosmopolitan. Mereka bergaul dengan kaum Eropa, punya akses ke budaya mereka, punya privilese sebagai anak priyayi untuk mengecap bangku sekolahan. Lantas, rasa keadilan mereka terusik karena melihat situasi yang tak mengenakkan di sekeliling mereka. Kartini, puteri bupati Jepara yang sebenarnya bertemu Minke dalam novelnya, juga tak mau disebut dengan gelar. Dalam salah satu suratnya ke Estelle Zeehandelaar pada 25 Mei 1899, seperti tercantuk dalam buku Pram tentang Kartini, san puteri bupati menulis: “Panggil aku Kartini saja –itulah namaku.

Mungkin Kartini lebih berat tugasnya daripada Minke, mengingat ia seorang perempuan di era demikian. Namun, Minke tidak sekadar ogah disebut Tirto saja, tapi justru ingin dipanggil dengan julukan yang seharusnya membuatnya terhina, “munyuk“. Apa ini untuk keperluan menantang, iseng belaka, pengingat (akan adanya sistem yang tak adil), atau memang pasrah dipanggil begitu?

Omong-omong soal Kartini dan tema kesetaraan gender, tentu musti disebutkan perempuan istimewa dalam film/novel BM, yang bernama Sanikem Sostrotomo alias Nyai Ontosoroh. Dengan segala kemandirian dan keberaniannya, Nyai Ontosoroh tak hanya menjadi kepala keluarga mengelola perkebunan besar Boerderij Buitenjorg di Wonokromo. Nyai Ontosoroh juga melawan hukum Eropa dan stigma “perempuan tidak baik-baik” yang melekat pada “gelar” Nyai, alias wanita yang tidak dinikahi secara legal, alias gundik. Ini pesan BM sejak novelnya yang masih bergaung hingga masa kini. Karakter perempuan-perempuan istimewa hadir dengan kuat di dalam BM, baik novel maupun filmnya. Yakni, Annelies yang ringkih dan balita May Marais (anak Jean Marais, mantan serdadu yang menjadi pelukis sekaligus single parent) yang lucu dan tak berdosa. Keduanya adalah aanak hasil kawin campur Indonesia dan generasi kedua (sekaligus korban) dari era kolonialisme.

 

Menulis, Melawan, Stereotipe

Pram, dalam novelnya maupun lewat terjemahan audio-visual film BM, juga menggarisbawahi pentingnya menulis untuk perlawanan. Seperti di dunia kiwari, media berfungsi bak pisau bermata dua.  Ia bisa jadi alat penyebar kebencian dan fitnah. Namun, media (cetak) pula yang menjadi wahana perlawanan terhadap kabar burung dan kebohongan yang keji. Di satu sisi, hal ini tidak berbeda dengan dunia di era post-truth dewasa ini. Tapi, yang sudah mulai langka adalah gairah menulis, polemik demi polemik, berjuang dengan “pena”, yang menjadi jiwa zaman pergerakan saat itu. Minke, setelah putusan pengadilan Nyai Ontosoroh, bertekad untuk “Saatnya perjuangan pena dengan tinta darah!”

Bagusnya dalam BM, semua tidaklah hitam putih saja. Ada Belanda baik (seperti Jean Marais, Magda Peters sang guru, Herbert de la Croix sang asisten residen, dan juga dokter keluarga, Martinet). Ada juga orang Belanda yang buruk. Ada pribumi dan indo yang baik (Jan Dapperste alias Panji Darman), ada yang buruk (Robert Suurhof, Robert Mellema). Eropa digambarkan menularkan modernitas dan kemajuan, juga semangat rasialis. Yang menarik, konsep penjajahan juga tidak digambarkan secara hitam putih. Menurut Robert Suurhof yang Indo dan teman sekelas Minke, dalam sebuah tulisannya di dalam kisah BM, Belanda banyak mengajarkan hal baik dan pribumi berhutang budi pada mereka. Hal ini mirip dengan analisis mendiang Profesor Frances Gouda (Universiteit van Amsterdam) dalam Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherlands Indies, 1900-1942, yang menyatakan bahwa kolonialisme, dalam kacamata orang Belanda, ibarat seorang ibu yang mengajarkan keluhuran budaya modern kepada bangsa primitif. Saya mendengar juga, misalnya, pada 1990-an, di sebuah program studi Sastra Belanda, ada pembimbing skripsi yang keberatan dengan istilah “penjajahan” yang bermakna buruk, dan lebih memilih kata “kolonialisme” yang lebih positif.

 

 

 

 

 

 

 

 

Pram di Era Millenial dan Post-Truth

Seperti ditulis di atas, Hanung punya misi yang berat: bagaimana bisa menangkap esensi idealisme dan semangat Pram sembari mengemasnya untuk generasi millenial. Kisah cinta Minke dan Annelies, yang dianggap punya porsi berlebihan bagi sebagian orang, adalah gerbangnya.

Bagi saya, misi cukup berhasil dicapai. Hanung dan tim seolah ingin menghapus “stigma” bau “kiri” BM (yang memang ditulis tokoh besar Lekra, organisasi kebudayaan dalam naungan partai komunis saat itu) dengan sedikit “memaksa” penontonnya untuk berdiri dan bernyanyi Indonesia Raya. Juga dengan membuka serta menutup film dengan lagu Ibu Pertiwi yang dinyanyikan oleh Iwan Fals dan Once. Film ini diputar menjelang peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-74. Seolah ingin bermetafora bahwa Nyai Ontosoroh adalah Ibu Pertiwi. Tentu ini sah-sah saja.

Tapi, bagi saya, BM terlalu sempit untuk disematkan semata-mata bagi nasionalisme dan patriotisme. BM juga mempermasalahkan “Bumi Manusia dan persoalannya…” dan bukan sekadar “Bumi Indonesia”. Lebih dari itu, bagi saya, BM berbicara tentang keadilan, kemanusiaan, anti-penindasan, dan kesetaraan derajat manusia tanpa pandang suku, ras agama, dan …bangsa. Salah satu indikasinya, termaktub dalam dialog dari Jean Marais yang sudah terkenal itu: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

Barangkali bukan kebetulan, di saat yang hampir bersamaan dengan pemutaran film BM, terjadi peristiwa-peristiwa ketidakadilan dan rasialisme terkait Papua.

Mungkin perlu direnungi lagi kutipan Pram di awal tulisan ini: bahwa kita mesti berguru pada sejarah, dan mungkin juga berguru pada novel dan film. Seperti yang dikatakan Magda Peters sang guru: “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Terakhir, saran saya, pertama, nikmati film ini tanpa mesti membanding-bandingkan dengan novelnya. Selama logika dalaman dan semesta reka-percaya sudah berhasil meyakinkan penontonnya untuk percaya, saya kira cukup. Apalagi kalau ada bonus transfer semangat dan idealisme Pram. Kedua, untuk pengalaman sinematis perdana, tontonlah filmnya di bioskop. Jangan mengandalkan format daring atau DVD yang hanya bisa terpampang di layar kecil semacam laptop, ponsel, atau televisi.***

Catatan: Mereka Bilang Dia Minke terinspirasi dari cerpen dan film Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Saya Monyet. Panggil Dia Minke Saja dimodifikasi dari buku Pramoedya, Panggil Aku Kartini Saja.

 

BUMI MANUSIA. Sutradara: Hanung Bramantyo. Skenario: Salman Aristo. Pemeran: Iqbaal Ramadhan, Mawar Eve de-Jongh, Sha Ine Febriyanti, Ayu Laksmi, Whani Darmawan. Produser: Frederica. Produksi: Falcon Pictures, 2019. Durasi: 172 menit.

 

Penulis:  Ekky Imanjaya, Dosen  Prodi Film Binus University. 

Tulisan ini dimuat di Pabrikultur, 14 Juni 2020. http://majalah.pabrikultur.com/film/120/Dr-Huyung-Sang-Jenius-Tak-Dikenang

http://majalah.pabrikultur.com/film/103/Bumi-Manusia