Menggunakan Media dengan Bijak di Abad ke-21 

Media telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia abad ke-21. Media memungkinkan kita untuk mengakses arus informasi yang datang dari seluruh dunia dengan cepat dalam genggaman tangan dan sentuhan jari-jemari kita. Karena kecanggihan teknologi, manusia kini dapat mengakses konten di berbagai saluran media, sehingga media tidak lagi menjadi perpanjangan tangan manusia seperti yang dikemukakan oleh , apalagi, mereka menjadi bagian penting dari kita. Terlebih lagi, dengan kemunculan media ‘baru’ dan Jaringan Afektif, media telah menciptakan kegelisahan yang membuat kita lebih terikat pada mereka dan, kebalikan dari apa yang dikatakan Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media: The Extensions of Man pada 1964. Lebih dari itu, kini kita sebagai manusia lah yang telah menjadi perpanjangan tangan dari media. Misalnya, ketika kita menyebarkan sebuah konten melalui aku media sosial pribadi kita sehingga membuat konten tersebut viral dalam hitungan menit. Ketika kita sampai pada titik jenuh pada era ‘pasca digital’ sehingga banyak yang ingin kembali bernostalgia dengan media ‘lama,’ seperti lebih memilih mengoleksi piringan hitam ketimbang mengakses musik secara digital atau menggunakan kamera analog ketimbang kamera digital yang lebih canggih, sebuah pertanyaan pun muncul: apa yang akan terjadi selanjutnya dalam pengembangan teknologi dan konten media? Dalam tulisan ini, saya mengusulkan solusi untuk menggunakan media dengan bijak; tidak hanya untuk keberlanjutan tetapi juga untuk membuat konten-konten media dengan tujuan yang baik. Tulisan singkat ini mengeksplorasi potensi penggunaan media dengan bijak dengan menyusun dan menantang teori-teori Studi Media yang ada serta memaparkan contoh-contoh pemanfaatan media sebagai alat untuk mengkampanyekan kesadaran dan isu-isu sosial di abad ke-21.

Konten

Tantangan terbesar bagi manusia di abad ke-21 adalah banyaknya informasi yang beredar di dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada begitu banyak informasi yang beredar di media sehingga terkadang kita tidak dapat memisahkan konten yang baik dari berita palsu atau yang dikenal dengan hoax maupun berita sampah atau spam. Hal ini disebabkan oleh globalisasi yang menghilangkan batas bagi manusia untuk dapat mengakses informasi secara cepat. Tidak hanya itu, globalisasi juga memberikan akses kepada bahan sumber daya dan tenaga yang relatif lebih murah dan terjangkau. Dalam hal ini, media seperti blog, jejaring sosial, Twitter, dan YouTube telah menjadi pemicu sekaligus pemercepat globalisasi. Semakin banyak media dikembangkan, semakin kita menjadi ketergantungan kepadanya. Dalam buku Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of Drive yang ditulis oleh Jodi Dean (2010), fenomena tersebut disebut dengan ‘jaringan afektif.’ Dalam jaringan ini, emosi dan identitas manusia saling bertemu dan berinteraksi melalui suatu sistem yang dapat memanipulasi memori dan perasaan manusia.

Frustrasi yang diciptakan oleh ‘jaringan afektif’ memperangkap pengguna ke dalam sebuah siklus tanpa henti. Semakin banyak kita ‘berkontribusi’ (misalnya dengan memposting status di media sosial, blog, atau mengunggah gambar/video) semakin banyak kita mendapatkan tanggapan yang perlu dijawab; dan seterusnya dan seterusnya. Dengan kata lain, semakin banyak kita berkontribusi, semakin dalam kita diperbudak olehnya. Seperti kata Dean, jaringan afektif menghasilkan perasaan seolah-olah kita berada dalam sebuah komunitas, atau lebih tepatnya sebuah “komunitas tanpa komunitas,” (Dean, 2010, h. 96) yang merupakan suatu ruang di mana kita seolah-olah menjadi bagian di dalamnya tetapi tidak benarbenar ada secara fisik, dan mungkin sampai batas tertentu, secara emosional, ilusi tersebut terbentuk karena orang hanya berinteraksi dengan ‘berkontribusi’ dan ‘menginginkan pencapaian tertentu’ dan bukannya benar-benar peduli dengan anggota komunitas lainnya.

Masalah lainnya adalah sampainya manusia pada titik jenuh dalam teknologi dan konten media. Meski demikian, peningkatan jumlah konten ‘baru’ masih berkembang di masa depan karena pesatnya kompetisi saluran media baru berupa TV internet seperti Netflix, Amazon, Hulu, dan saluran streaming Disney yang akan segera dirilis. Semakin tinggi kompetisi, maka semakin tinggi pula tuntutan untuk membuat konten-konten ‘baru’. Semakin banyak konten yang dibutuhkan oleh berbagai saluran media tersebut, sebenarnya menciptakan peluang besar bagi kita untuk mulai menggunakan media dengan bijak dengan menciptakan konten-konten yang dapat mendidik masyarakat luas. Jaringan TV utama di Amerika Serikat seperti NBC dan CBS maupun saluran TV lokal seperti RCTI dan SCTV selalu giat mencari bakat-bakat penulis dan produser media yang dapat membuat konten baru dengan menciptakan berbagai program seperti program pendampingan penulis atau festival film untuk menjaring konten yang merayakan keberagaman dan inklusifitas. Di sisi lain, alat pembuat media menjadi lebih murah dan lebih mudah untuk digunakan sehingga menciptakan peluang yang lebih baik bagi kita untuk membuat konten media alternatif. Dengan menyebarkan informasi yang diperoleh di media tentang cara membuat konten media baru (misalnya melalui saluran YouTube dan situs web seperti nofilmschool.com), kita dapat membuat media dengan konten yang baik untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah mendesak seperti, antara lain, penanganan HIV/AIDS, penindasan kaum minoritas, dan pemanasan global. Sebagai alternatif, kita selalu dapat memulai dari yang kecil dengan berkampanye di akun sosial media kita tentang masalah-masalah kecil di sekitar kita. Dengan memberikan sentuhan kisah-kisah pribadi ke dalamnya, ide-ide ini bisa menjadi ‘baru’ dan orisinal.

Kesimpulan & Rekomendasi

Saat ini, terdapat kurang lebih 7,6 miliar manusia di muka bumi. Itu berarti, terdapat 7,6 miliar kisah ‘baru’ untuk diceritakan. Bahkan ketika kita tidak membuat konten media baru, kita selalu dapat mendidik diri kita sebagai pengguna media dengan memilih konten yang baik dan menjadi perpanjangan media untuk menyebarkan konten-konten yang tepat kepada orang lain. Sebagai pengguna media, kita juga dapat mulai melatih diri untuk mendengarkan cerita orang lain, sehingga kita dapat berlatih untuk berempati kepada orang lain sehingga kita menjadi lebih bijak dalam mengakses media. Ini adalah latihan yang baik untuk tidak terjerumus ke dalam kecanduan media yang disebabkan oleh jaringan afektif dalam bersosial media yang menuntut kita untuk selalu berbicara dan tidak pernah benar-benar berhenti dan mendengarkan orang lain. Dengan berempati dengan cerita orang lain, mungkin kita dapat mengurangi kecanduan kita dalam mengakses media dan menciptakan komunitas nyata dalam kehidupan nyata, alih-alih terjebak dalam komunitas-komunitas ‘palsu’ yang kita miliki dalam jaringan afektif kita. Mungkin dengan cara ini, kita dapat mulai menggunakan media dengan bijak, di abad ke-21 dan seterusnya.

 

Daftar Pustaka

 Dean, Jodi. Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of Drive (Cambridge, UK: Polity, 2010).

McLuhan, Marsha;;. Understanding Media: The Extensions of Man (New York: McGraw-Hill,1964)

written by: DR. Azalia Muchransyah, Dosen  Prodi Film Binus University.

Artikel ini dimuat di Bunga Rampai Pemikiran Pelajar Indonesia di Amerika Serikat, Perayaan 70 Tahun Hubungan Diplomasi Pendidikan RI-AS tahun 2020: http://education.embassyofindonesia.org/wp-content/uploads/dae-uploads/BUNGA-RAMPAI-Pemikiran-Pelajar-Indonesia-di-ASpdf.pdf

Azalia Muchransyah