Menonton Ulang (Setelah) Lewat Djam Malam di Panggung Teater

Aktor Reza Rahadian (kiri) bersama aktor dan aktris pendukung berakting dalam pertunjukan teater berjudul ‘Setelah Djam Malam’ di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta, Kamis (1/12/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Malam itu terasa syahdu. Ada peti mati, karangan bunga, dan foto Iskandar — tokoh utama dalam film klasik Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954) — dan sekelompok orang yang terlihat seperti pelayat yang bertakziah.

Reza Rahadian, pada adegan ini, seperti berperan sebagai dirinya sendiri – hadir memimpin upacara pemakaman Is, sang almarhum. Ia pun bermonolog seolah ingin berinteraksi dengan penonton terkait kilas balik film Lewat Djam Malam (LDM). Adegan awal ditutup dengan pernyataan “bagaimana setelah Is wafat?”.

Dan panggung di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki di awal Desember 2022, pun berubah. Pertunjukan Setelah Lewat Djam Malam (SLDM) dipimpin sutradara Yudi Ahmad Tajudin dan ditulis oleh oleh Permata Adinda serta Shohifur Ridho’I. SLDM menjelajahi berbagai kemungkinan potensi kolaborasi antara seni teater dengan sinema, juga dengan seni musik dan tari.

Setelah menjadikan arsip dan restorasi film sebagai pembicaraan nasional,serta pemutarannya di Cannes Classic tahun 2012, film klasik Lewat Djam Malam kembali hadir dan menggebrak dengan format baru: perpaduan teater dan film. Atau, dalam istilah para kreatornya: “pertunjukan teater silang-media yang mempertemukan dan mendialogkan medium film dan seni pertunjukan dalam satu panggung”.

Pertunjukan ini menggabungkan teater (seni pertunjukan) dengan dengan potongan-potongan film LDM, dengan multi layar di beberapa titik dan berbagai macam ukuran.

Terkadang, Reza, yang dalam pertunjukan ini berperan sebagai Is, berdialog dengan para karakter di film. Di panggung, film dengan format hitam putih ditayangkan dalam layar vertikal berukuran pintu. Misalnya, adegan kala IS bertamu ke beberapa mantan tentara koleganya.

Kadang, cuplikan film menyatu dengan panggung, seperti dalam adegan dansa atau di ruang tamu atau beranda. Kadang, layar malah muncul di sisi kiri dan kanan penonton. Pilihan mise-en-scene – apa yang tampak secara visual (dan juga terdengar) di panggung, karenanya penting, dan tidak hanya asal comot.

Kolaborasi perpaduan antar seni ini pernah terjadi, misalnya dalam The Planet: A Lament dan Setan Jawa karya Garin Nugroho. Ada layar untuk memutar film, ada seni peran, dan tarian.

Tapi SLDM mengeksplorasi lebih jauh lagi. Adegan demi adegan muncul di layar-layar dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi, berdasarkan kebutuhan cara bertutur dan dramaturgi. Istilah dramaturgi menjadi penting dalam pentas ini, karena kita tidak hanya sedang melihat orkestrasi ensembel para aktor, tapi juga interaksi dengan tokoh-tokoh di dalam filmnya, dan juga suasana (tata) panggungnya.

Dan lagi, SLDM menghadirkan film yang sudah dikenal dan klasik, sehingga penonton bisa menafsirkan lagi film tersebut. Salah satunya, berkat dramaturg arahan Ugoran Prasad yang bertugas di pertunjukan itu.

Kolaborasi ini juga mengingatkan pada Secret Cinema, saat penonton mengalami imersi seolah penonton tidak hanya berada di dalam film, namun juga mengalami (to experience) sebagai karakter-karakter fiktifnya.

Namun, alih-alih membuat penonton (pertunjukan ini) merasakan mengalami, justru pentas ini dimaksudkan untuk berjarak, sehingga penonton diajak untuk berpikir dan merenungkan makna demi makna, untuk disambungkan dengan konteks kiwari.

Hadirnya Isu Perempuan

Pembahasan film LDM sering dikaitkan pada pergumulan psikologi Iskandar. Bahkan ada yang menganggap film LDM terkait dengan isu PTSD (Post-traumatic stress disorder) akibat perang. Atau, terkait dengan latar di Bandung pada tahun 1954, setahun sebelum Konferensi Asia Afrika dan pemilu pertama. Namun, jarang yang melakukan pembacaan film LDM dari sisi kajian gender dan perempuan seperti pertunjukan ini.

Pentas ini mencoba mengangkat isu gender dan keterpinggiran perempuan, khususnya sosok Laila (Dira Sugandi) dan Norma (Kelly Tandiono). Untuk era #metoo sekarang, saat masyarakat menjadi lebih sadar akan kekerasan seksual, pengangkat isu ini menjadi sangat relevan.

Materi awal di film menggambarkan kedua sosok perempuan, Laila dan Norma, yang mengalami problematika hanya karena mereka perempuan. Yang paling kentara adalah Laila, seorang janda yang ditinggal suaminya yang suka main pukul, dan selalu menggunting barang-barang mewah yang diidamkannya dari majalah Life.

Di panggung pertunjukan, adegan ini dipertajam dengan efek guntingan benda-benda idaman yang berkilau dan bertaburan di dalam sebuah layar raksasa.

Infografik Setelah lewat djam malamInfografik Setelah lewat djam malam. tirto.id/Fuad

Untuk memperkuatnya, diciptakan dua lagu karya Mery Kasiman yang dinyanyikan dengan amat berdaya oleh Dira, Kelly, dan bahkan Reza — selain tarian yang dibawakan oleh Dansity. Lagu-lagu itu juga memperkuat kegalauan Iskandar yang merasakan dunia idealnya runtuh setelah terjun ke masyarakat yang korup di negeri yang baru saja merdeka itu.

Terkait dengan isu gender ini, film LDM ternyata memberikan credit title yang pertama pada Dahlia (pemeran tokoh Pelacur Laila), baru kemudian diikuti pemeran lain yaitu AN Alcaf (Iskandar) dan Netty Herawati (Norma).

Pentas yang digawangi oleh Garasi Performance Institute dan KawanKawan Media tidak saja berhasil meningkatkan kesadaran penonton akan pergolakan batin Is dan masyarakat yang korup. Namun yang juga tidak kalah penting adalah mempertegas ketidakadilan yang dialami Laila dan Norma.

Uniknya pertunjukan ini adalah bahwa pertunjukan tidak bermula dari akhir film LDM, sebagaimana yang diucapkan Reza di adegan awal. Pertunjukan kolaboratif ini dibuka sama persis dengan pembukaan filmnya, begitu juga dengan plot pertunjukan yang tidak ada yang berubah dari film.

Iskandar “hidup” kembali malam itu, justru dengan membawa penafsiran yang bermuara pada apa yang terjadi setelah dirinya tiada.

Kisah “setelah” Lewat Djam Malam, memaksa kita untuk menonton (ulang) filmnya, dengan pendekatan baru. Baru kemudian, kisah “setelah” menyeruak di benak masing-masing penonton, untuk dibawa pulang.

Penulis: Ekky Imanjaya

Artikel ini sudah dimuat di: Tirto.id pada tanggal 6 Desember 2022

Ekky Imanjaya